Refleksi Seorang Guru

Abah Jack
0

 Refleksi Seorang Guru

Oleh Joko Susilo, S.Pd.I.

(Guru PAI BP SMP IT Al-Islam Kudus Jawa Tengah, Calon Guru Penggerak Angkatan 5 )

 


Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat[1].

( Ki Hajar Dewantara )


Akhir Tahun  Pelajaran 2021/2022 ini genap 10 tahun saya mengabdi sebagai seorang guru. Rentang waktu 10  tahun bisa dikatakan “baru” bisa juga dikatakan “sudah”. Jika menggunakan frasa “baru” artinya 10 tahun jika dibandingkan dengan para senior termasuk guru-guru saya di SD, SMP atau SMA belumlah ada artinya. Karena guru-guru saya tersebut tentunya sudah mengabdi lebih dari 10 tahun hingga sekarang muridnya seperti juga menjadi seorang guru.


Sebaliknya jika menggunakan frasa “sudah” ini jika dilihat dari masa pengabdian seharusnya sudah ada 10 generasi yang sudah saya didik. 10 generasi ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Sehingga diantara 10 generasi tersebut seharusnya bisa memberikan gambaran tentang keberhasilan atau kegagalan saya menjadi seorang guru. Maka jika berkaca pada maksud Pendidikan Sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat[2]. Kemudian muncul pertanyaan sudahkan generasi yang saya bersamai selama 10 tahun tersebut sudah ada yang mencapai kselematan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya? Inilah yang kemudian seharusnya menjadi refleksi guru secara umum dan saya pribadi secara khususnya.


Momen Program Guru Penggerak ini memberikan saya kesempatan untuk belajar dan merenungi kembali hakikat Pendidikan sebagaimana digariskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara. Seolah baru pertama kali berinteraksi dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara saya Kembali tersadar tentang hakikat pendidikan. Pengalaman menjadi guru dalam mengajar dan membersamai murid saya selama ini kembali muncul. Menggunakan cermin pemikiran Ki Hajar Dewantara betapa banyak koreksi diri yang harus saya lakukan. Banyak kesalahan yang saya lakukan selama ini.


Pertama, menurut Ki Hajar Dewantara “Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda 2  hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan[1]kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu[3].”  Merefleksikan diri kepada pemikiran Ki Hajar Dewantara tersebut yang memandang bahwa anak-anak adalah makhluk tumbuh sesuai kodratnya sendiri yang memiliki kekuatan masing-masing sehingga guru hanya sekadar menuntun. Padahal selama ini saya masih sering memposisikan anak didik saya adalah obyek yang harus dibentuk. Mereka saya atur sesuai dengan strategi pembelajaran yang saya susun berdasarkan kehendak saya sebagai subsyek. Sehingga jarang memberikan kesempatan kepada anak didik saya untuk tumbuh dan berkembang sesuai inisiatif mereka.  


Memposisikan anak didik sebagai obyek juga membuat guru merasa memiliki otoritas penuh atas diri anak didik. Semua yang terjadi dalam proses pembejaran merupakan atas kontrol guru. Kondisi seperti ini akan menghambat bahkan mematikan inisiatif, kreativitas dan inovasi anak didik. Anak didik tidak diberikan kesempatan berkembang dengan baik. Bahkan bisa jadi anak didik akan tertekan jika guru terlalu otoriter terhadap jalannya proses pembelajaran.  


 Kedua, menurut Ki Hajar Dewantara selain memiliki kodrat alam, anak-anak juga memiliki kodrat zaman. Artinya dalam mendidik anak harus mengikuti perkembangan zaman. Karena mereka dilahirkan dengan zaman yang berbeda dengan kita sebagai gurunya. Mereka juga akan menghadapi zaman yang berbeda pula dengan kita. Sehingga proses Pendidikan yang kita berikan pun harus juga berbeda menyesuaikan dengan zaman mereka. Terlebih seiring cepatnya perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat mengiringi perkembangan anak didik kita menyebabkan pengetahuan yang mereka bisa jadi lebih cepat daripada kita.


Konsekuensi lainnya memaksa guru untuk terus dan cepat belajar tentang sesuatu yang baru. Sehingga jika tertinggal sedikit saja seorang guru jauh tertinggal dari anak didiknya. Demikian pula yang saya alami selama 10 tahun terakhir ini. Pengalaman berinteraksi dengan generasi Z memaksa saya untuk menyesuaikan dengan mereka. Tidak hanya dalam pembelajaran tetapi juga dalam keseharian mereka.  


Setelah menyelami pemikiran Ki Hajar Dewantara saya menyadari harus banyak berbenah. Banyak memperbaiki diri. Banyak belajar. Saya menyadari bahwa anak didik merupakan subyek yang merdeka. Mereka memiliki kehendak, bakat, dan potensi yang harus berkembang secara merdeka. Tugas guru adalah menuntut anak didik untuk menemukan jalan agar bisa mencapai tujuan Pendidikan sebagaimana digariskan oleh Ki Hajar Dewantara yakni  mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.


 

Referensi

Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937



[1] Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937 hal. 1

[2] ibid

[3] ibid

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)